Final Test Metode Penelitian Kebudayaan
FINAL TEST
METODE
PENELITIAN KEBUDAYAAN
“Metodologi Penelitian dan Cultural Studies”
DISUSUN
OLEH:
Uzi Agustin
Ardiyati
F21115310
JURUSAN SASTRA INGGRIS
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
METODOLOGI PENELITIAN DAN CULTURAL STUDIES
A. METODOLOGI PENELITIAN
1. PENGERTIAN METODOLOGI DAN METODE PENELITIAN
Metodologi
penelitian berasal dari kata “Metode” yang artinya cara yang tepat untuk
melakukan sesuatu; dan “Logos” yang artinya ilmu atau pengetahuan. Jadi,
metodologi artinya cara melakukan sesuatu dengan menggunakan pikiran secara
saksama untuk mencapai suatu tujuan. Sedangkan “Penelitian” adalah suatu
kegiatan untuk mencari, mencatat, merumuskan dan menganalisis sampai menyusun
laporannya.
Lebih
luas lagi dapat dikatakan bahwa metodologi penelitian adalah ilmu yang
mempelajari cara-cara melakukan pengamatan dengan pemikiran yang tepat secara
terpadu melalui tahapan-tahapan yang disusun secara ilmiah untuk mencari, menyusun
serta menganalisis dan menyimpulkan data-data, sehingga dapat dipergunakan
untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran sesuatu pengetahuan.
Menurut
Suharsimi Arikunto (dalam Hamdi & Bahruddin, 2014:3), Metode penelitian
adalah “cara berfikir, berbuat yang dipersiapkan dengan baik-baik untuk
mencapai suatu tujuan penelitian”. Metode penelitian memandu si peneliti
tentang urutan-urutan bagaimana penelitian dilakukan. Selain itu, Metode
penelititan membicarakan bagaimana secara berurut suatu penelitian dilakukan
(Hamdi & Bahruddin: 2014:3). Metode yang paling banyak digunakan dalam
pengumpulan data kualitatif adalah observasi partisipan, in-depth interview, group
interview dan pengumpulan data dari dokumen yang relevan (Salam, 2011:32).
2. DEFINISI DAN KARAKTERISTIK PENELITIAN KUALITATIF
a. Definisi
Penelitian Kualitatif
Denzin
dan Lincoln (dalam Salam, 2011:27) mendefinisikan penelitian kualitatif dengan
mengatakan bahwa penelitian kualitatif adalah suatu penelitian yang menjadikan multimethods sebagai fokusnya;
melibatkan pendekatan interpretatif dan naturalistik terhadap pokok
persoalannya. Selain itu menurut Maanen & Miller (dalam Salam, 2011:27), penelitian
kualitatif merupakan interpretasi atas realitas social yang dilakukan dengan
menghubungkan berbagai gejala sosial yang dapat teramati secara visual di
lapangan dalam bentuk struktur yang terpola, peristiwa-peristiwa dan atau dalam
bentuk naskah-naskah tertulis.
Creswell
(dalam Salam, 2011:27) juga memberi pendapat bahwa “penelitian kualitatif
adalah proses penelusuran pemahaman berdasarkan tradisi metodologi penelitian
yang jelas, yang mengeksplorasi suatu masalah sosial atau masalah manusia (human problem).
b. Karakteristik
Penelitian Kualitatif
Creswell
(dalam Salam, 2011:28) menyajikan perspektif tentang karakteristik penelitian
kualitatif dari tiga ahli (Bodgan & Biklen, Eisner, dan Merriam) tentang
karakteristik penelitian kualitatif kedalam sebuah tabel. Dalam tabel tersebut
ada tiga karakteristik yang disepakati oleh ketiga ahli tersebut, yaitu
“natural setting” sebagai sumber data, analisis data secara induktif, dan makna
difokuskan pada perspektif partisipan.
Selanjutnya,
Maykut dan Morehouse (dalam Salam, 2011:29-33) menggambarkan dan
mendeskripsikan beberapa ciri utama penelitian kualitatif, antara lain:
1.
An
Exploratory and Descriptive Focus. Penelitian
didesain untuk menemukan (mengeksplorasi) apa yang bisa dipelajari tentang
fenomena sosial yang menjadi research
interest peneliti yang bersangkutan.
2.
Emergent
Design. Dalam konteks ini, emergent design adalah desain penelitian
yang dikembangkan sambil melaksanakan penelitian. Peneliti kualitatif pada fase
pengumpulan datanya dapat menelusuri fakta-fakta baru, yang dapat memperluas
atau justru mempersempit cakupan penelitiannya sehingga desain penelitiannyapun
dapat dimodifikasi.
3.
A
Purposive Sample. Partisipan yang akan dilibatkan
dalam penelitian kualitatif harus dipilih secara hati-hati, yaitu orang yang
memahami perkembangan sosial dengan baik, karena diharapkan dapat memperluas
variabel sampel.
4.
Data
Collection in the Natural Setting. Peneliti
kualitatif menentukan tempat yang kemungkinan dapat memberikan informasi yang
ingin ia ketahui dari fenomena yang ditelitinya. Misalnya dalam upaya memahami
pengalaman mahasiswa dalam kehidupan akademiknya, peneliti mendatangi kelas,
perpustakaan, organisasi mahasiswa, dan lain-lain untuk mengobservasi.
5.
Emphasison
‘Human-as-Instrument’. Peneliti memegang
peranan penting dalam penelitian kualitatif karena Ia bertanggungjawab dalam
mengumpulkan data yang relevan dan juga harus menginterpretasikan arti dari
data tersebut, yang paling sering diperoleh dari perkataan dan aksi dari orang
di lapangan secara langsung.
6.
Qualitative
Methods of Data Collection. Data hasil penelitian
kualitatif umumnya didapatkan dari perkataan dan tindakan informan, sehingga
membutuhkan metode agar peneliti memahami bahasa dan perilaku mereka. Salah
satu metodenya yaitu interview, dimana peneliti merekamnya dalam audio-tape, kemudian menuliskan
transkripnya untuk dipergunakan dalam analisis data.
7.
Early
and Ongoing Inductive Data Analysis. Analisis data
pada penelitian kualitatif dimulai ketika peneliti sudah mengumpulkan sejumlah
data yang akan memunculkan aspek penting terhadap fenomena yang sedang dikaji.
Selanjutnya, aspek itu akan menuntun dalam penentuan informan dan setting serta
pengumpulan data penjelas berikutnya.
8.
A
Case Study Approach to Reporting Research Outcomes.
Hasil penelitian kualitatif pada umumnya disajikan dalam rich narrative (narasi yang panjang/tebal), yang kadang-kadang disajikan dalam
bentuk studi kasus.
3. PERBANDINGAN PENELITIAN KUANTITATIF DAN KUALITATIF
Kirk & Miller (dalam Salam, 2011:26)
berpendapat bahwa penelitian kualitatif adalah studi empirik, yakni studi yang
menempatkan suatu fenomena secara sosial dan studi yang didefinisikan
berdasarkan sejarahnya sendiri, bukan sama sekali a residual grab-bag (kumpulan bahan sisa) yang teridiri dari segala
sesuatu yang tidak kuantitatif. Penelitian kualitatif melibatkan penggunaan
kajian dan kumpulan aneka ragam pengallaman empirik (empirical materials) melalui: studi kasus, pengalaman pribadi,
intropeksi, riwayat hidup, interview, observasi, sejarah, interaksi dan
teks-teks visual, yang mendeskripsikan peristiwa rutin dan momen-momen yang
bersifat problematik serta makna kehidupan individu (Creswell, 1998:14-15).
Selanjutynya, Mack (dalam Salam,
2011:58) menyatakan bahwa perbedaan utama antara metode penelitian kuantitatif
dan kualitatif adalah:
-
Tujuan analisisnya
-
Jenis pertanyaan yang
dipertanyakannya
-
Jenis instrument
pengumpulan data yang digunakannya
-
Bentuk data yang
dihasilkannya
-
Tingkat fleksibilitas
yang dibuat dalam desain penelitiannya
Secara ringkas, Ia memberikan jawaban
atas pertanyaan “Apa yang paling utama yang membedakan antara metode
kuantitatif dan kualitatif?”, yaitu fleksibilitasnya. Metode kuantitatif
relatif tidak fleksibel dibandingkan metode kualitatif, sebagai contoh,
peneliti memberikan kuisioner dan survey dengan pertanyaan yang sama dan urutan
yang sama pula kepada semua partisipan. Berbeda halya dengan
B. CULTURAL STUDIES
1. SUDUT PANDANG BARU DALAM MELIHAT KEBUDAYAAN
Selama
ini, kebudayaan telah dianggap sebagai sebuah kebiasaan yang menjadi tatanan
dan pedoman dalam tingkah laku manusia dalam bermasyarakat. Clifford Geertz
(dalam Abdullah, 2006:1) mendefinisikan kebudayaan sebagai pola dari
pengertian-pengertian atau makna-makna yang terjalin secara menyeluruh dalam
symbol-simbol dan ditransmisikan secara historis.
Irwan
Abdullah dalam Konstruksi dan Reproduksi
Kebudayaan memaparkan nahwa istilah kebudayaan hamper selalu terikat pada
batas-batas fisik yang jelas, seperti halnya kebudayaan Bali yang secara
langsung mengarahkan pikiran kita ke Pulau Dewata. Namun, seiring derasnya arus
globalisasi yang membuat dunia seakan tidak bersekat dan jarak antardaerah,
antarnegara, bahkan antarbenua sehingga kebudayaan khas suatu daerah bisa ditemui
diluar batas-batas geografinya sendiri.
2. HUBUNGAN CULTURAL STUDIES DENGAN TEORI-TEORI SOSIAL
Beberapa
metode dan pendekatan yang sering digunakan dalam cultural studies antara lain Marxisme, semiotika, analisis wacana (discourse analysis), posmodernisme,
pos-kolonialisme, feminism, dan lain sebagainya (Hasan, 2011:32). Beragamnya
metode penelitian berimbas pada perbedaan tiap komunitas cultural studies di tiap negara.
a. Marxisme
Dalam
kaitannya dengan marxisme, Marx dan Engels (dalam Hasan, 2011:33) menganggap
bahwa basis ekonomi masyarakat terdiri dari hubungan produksi ketika budaya dan
ideologi terbentuk untuk membantu mengamankan dominasi yang dilakukan oleh
kelas sosial yang berkuasa. Dalam model basis ini, ekonomi dianggap sebagai fondasi
masyarakat, sedangkan budaya, hukum dan politik berada dalam struktur atas yang
merupakan ikutan, cerminan, dan hasil dari basis yang juga bisa mereproduksi
basis ekonomi agar tetap bertahan.
Berbagai
kritik terhadap Marxisme muncul karena dianggap teori ini mengembangkan makna
yang buruk terhadap ideology (kesadaran palsu). Oleh karena itu timbullah upaya
untuk menunjukkan bagaimana pandangan kultural dari Marxisme bisa dielaborasi
secara elbih luas untuk memperkuat konsep ideology dan budayanya. Inilah yang
melatarbelakangi munculnya pemikir-pemikir yang disebut sebagai Marxisme
Kultural yang aktif melakukan analisis dan studi budaya dalam masyarakat
kapitalis (Hasan, 2011:36).
b. Postmodernisme
Postmodernisme berkembang
sejak revolusi industri dan era pencerahan. Para pemikir posmodernis secara
umum berusaha mengevaluasi proyek filsafat modern yang dianggapnya “menyimpang”
dari tujuan humanisasi dan berusaha melontarkan pandangan-pandangan baru
tentang manusia, masyarakat, dan kebudayaan. Mereka menggugat modernisasi yang
pemikiran ilmiah terjebak pada positivisme, yaitu kepercayaan pada kebenaran
objektif oleh manusia terhadap gejala alam dan sosial (Hasan, 2011:58).
c. Semiotika
Sandi
Suwardi Hasan (2011:61) berpendapat bahwa berbicara mengenai semiotika, sebuah
konsep penting dalam cultural studies adalah
konsep “tanda” (sign). Jadi, dalam
hal ini, cultural studies telah
menempatkan teori linguistik sebagai bagian yang sangat fundamental untuk
memahami istilah kebudayaan.
METODOLOGI DALAM CULTURAL STUDIES
Metodologis standar antara metode
kuantitatif dan metode kualitatif memiliki perbedaan mendasar dilihat dari
pengumpulan datanya. Metode kuantitatif yang terpusat pada angka dan
perhitungan (misalnya statistic dan survei) dirasa kurang memberi keluwesan dalam
penelitian cultural studies. Secara
keseluruhan, cultural studies lebih
memilih metode kualitatif dengan fokus pada makna kultural yang dibangun oleh
para aktor yang dikumpulkan melalui wawancara, focus group (diskusi) dan analisis tekstual (Baker, 2004:29).
Lebih lanjut lagi, Chris Baker
mengatakan bahwa karya-karya dalam cultural
studies terpusat pada tiga macam pendekatan, antara lain:
a. Etnografi
Etnografi
adalah pendekatan empiris dan teoretis yang diwarisi dari antropologi yang
berusaha membuat deskripsi terperinci dan analisis kebudayaan yang didasarkan
pada kerja lapangan yang intensif. Menurut Morley (dalam Baker, 2004:30)
strategi penelitian kualitatif seperti etnografi pada dasarnya didesain untuk
mendapatkan akses ke dalam “berbagai domain yang dialamikan” dan aktivitas
karakteristik mereka. Dengan kata lain, Cultural
studies terpusat pada eksplorasi kualitatif atas nilai dan makna dalam
konteks ‘cara hidup secara keseluruhan’, yaitu dengan masalah-masalah
kebudayaan, dunia-kehidupan dan identitas.
b.
Pendekatan Tekstual
Baker
mengemukakan ada tiga analisis yang cukup terkemuka dalam cultural studies, yaitu semiotika, teori narasi, dan
dekonstruksionisme. Analisis semiotika mencoba menjelaskan makna suatu teks
yang terbentuk dari tanda (sign) dan
dengan menggunakan kode-kode kultural. Selain
itu, narasi mempunyai peran dalam cultural
studies, dimana ia dapat menjelaskan rekaman peristiwa secara terstruktur
dan berurut. Adapun dekonstruksi berarti menghapus teks dalam rangka menemukan
dan menampilkan asumsi teks tersebut (Baker, 2004:32-33).
c. Studi
Resepsi (Reception Studies)
Gadamer
(dalam Baker, 2004:35) memberi argumen bahwa pemahaman selalu berasal dari
posisi dan sudut pandang orang yang paham, yang tidak hanya melibatkan
reproduksi makna tekstual namun juga produksi makna oleh pembacanya. Teks bisa
menampilkan makna, namun imajinasi dan pemikiran pembaca turut berpengaruh pada
bagaimana penerimaan informasi mereka akan teks yang dibacanya.
SUBJEK KAJIAN DAN KARAKTERISTIK CULTURAL STUDIES
Cultural studies dapat dikatakan sebagai kajian yang secara holistis menggabungkan teori feminis,
sejarah, filsafat, teori sastra, teori media, kajian tentang video atau film,
studi komunikasi, ekonomi politik, studi tentang museum, sejarah, dan kritik seni, yang merupakan fenomena dalam
kajian budaya dari berbagai bentuk
masyarakat. Jadi, cultural studies
berupaya memahami bagaimana makna diarahkan, disebarkan, dan dihasilkan dari
berbagai macam praktik-praktik budaya, kepercayaan, intitusi, struktur ekonomi,
politik, dan sosial yang di dalamnya ada aspek yang dikaji dari budaya (Hasan,
2011:27-29).
Ziauddin Sardar (dalam Hasan,
2011:30-31) menguraikan karakter cultural
studies, sebagai berikut.
1. Cultural studies bertujuan menelaah persoalan dari sudut praktik kebudayaan
dan hubungannya dengan kekuasaan. Tujuannya adalah untuk mengungkapkan hubungan
kekuasaan dan mengkaji bagaimana hubungan tersebut mempengaruhi dan mambentuk praktik-praktik kebudayaan.
2. Cultural studies tidak hanya semata-mata studi mengenai budaya, seakan-akan
budaya itu terpisah dari konteks sosial dan politiknya. Tujuannya adalah
memahami budaya dalam segala bentuk kompleksnya dan menganalisis konteks sosial
politik tempat dimana budaya itu mewujudkan dirinya.
3. Budaya dalam cultural studies selalu menampilkan dua fungsi: sekaligus merupakan
objek studi dan lokasi tindakan kritisisme politik. Cultural studies bertujuan menjadi keduanya, baik usaha pragmatis
maupun intelektual.
4. Cultural studies berupaya menyingkap dan mendamaikan pengotakan pengetahuan,
mengatasi perpecahan antara bentuk (pengetahuan yang tak tampak pengetahuan
intuitif berdasarkan budaya lokal) dan yang objektif (yang dinamakan
universal). Bentuk-bentuk pengetahuan cultural
studies mengasumsikan suatu identitas bersama dan kepentingan antara yang
mengetahui dan yang diketahui, antara pengamat dan yang diamati.
5. Cultural studies terlibat dengan evaluasi moral masyarakat modern dan dengan
garis radikal aksi politik. Tradisi cultural
studies bukanlah tradisi kesarjanaan yang bebas nilai, melainkan tradisi
yang punya komitmen terhadap rekonstruksi sosial dengan terlibat kedalam kritik
politik. Jadi, cultural studies
bertujuan memahami dan mengubah struktur dominasi dimanapun, tetapi secara
lebih khusus dalam masyarakat kapitalis industri.
5. SEJARAH
CULTURAL STUDIES DI INGGRIS
Centre
for Contemporary Cultural studies (CCCS) yang
dimotori oleh Richard Hogart adalah sebuah lembaga di Universitas Birmingham,
Inggris, yang didekengi oleh para ilmuwan kritis yang menganggap bahwa kritik
terhadap budaya kapitalis harus dilakukan dengan gerakan politis dan memiliki
basis intelektual yang kuat. Sebagaimana dikatakan Hanno Hardt (dalam Hasan,
2011:69), “Cultural studies adalah
sebuah kritik yang khas Inggris terhadap budaya kontemporer di dalam Marxisme
Barat yang menampilkan kualitas dan intensitas komitmen intelektual untuk
mengkritik dominasi ideology dan kekuasaan politik.
Pendiri Cultural studies di Inggris antara lain:
a. Richard
Hoggart, pendiri Centre for Contemporary Cultural studies
(CCCS). Melalui karyanya yang paling berpengaruh berjudul The Uses of Literacy, Ia berusaha
memahami terjadinya perubahan budaya di Inggris yang disebabkan oleh terjadinya
“masifikasi”.
b. Raymond
Williams (31 Agustus 1921-26 Januari 1988). Ia adalah seorang akademisi,
novelis, dan kritikus paling berpengaruh dalam gerakan intelektual Kiri Baru.
Tulisannya memberikan kontribusi cukup besar dalam kritik budaya Marxis.
c. E.
P. Thompson
Thompson adalah tokoh cultural studies di Inggris yang juga
identik dengan gerakan Kiri Baru. Ia melanjutkan tradisi Kiri dengan
menyebutnya sebagai “humanis sosialis” Karyanya yang paling berpengaruh adalah The Making of English Working Class (1963)
bertujuan untuk mengkritik teori kelas Marxisme.
d. Stuart
Hall
Tokoh cultural studies Inggris lainnya lagi
adalah Stuart Hall, merupakan teoretikus budaya dan seorang sosiolog. Bersama
Richard Hoggart dan Raymond Williams, ia dikenal sebagai pemikir cultural studies Inggris yang berbasis
di Birmingham. Ia juga menjabat sebagai Presiden Asosiasi Sosiolog Inggris pada
tahun 1995-1997.
Hasan
(2011:85) mengungkapkan bahwa cultural studies di Inggris merupakan
cikal bakal studi budaya yang berkembang dan bermigrasi ke berbagai Negara.
Gerakan Kiri Baru (New Left) sebagai
respon Inggris terhadap invasi Rusia terhadap Hungaria pada tahun 1956 sangat
berpengaruh.
Analisis
Ziauddin Sardar (Sardar & Loon, 2001:43) menguraikan bahwa karakteristik cultural studies Inggris yaitu dibedakan
oleh keragaman dan orisinalitas yang luar biasa dari topik-topik yang dikajinya
dan mempunyai dimensi politik. Cultural
studies ini bertujuan mendorong orang untuk memahami hubungan instrinsik
antara budaya dan berbagai bentuk kekuasaan, lalu mengembangkan strategi
bertahan hidup.
CONTOH CULTURAL STUDIES
a.
BECOMING WHITE oleh AQUARINI PRIYATNA
Tanggapan
Terhadap Metode, Aplikasi, dan
Pembahasan Selebritas Indo: Tubuh Yang Paradoks.
Becoming White karya
Aquarini Priyatna Prabasmoro ini mengulas secara lugas dan mendalam mengenai
fenomena iklan sabun yang menciptakan hegemoni dalam masyarakat bahwa standar
kecantikan wanita yang sesungguhnya adalah mereka yang berkulit putih dan
bertubuh indah, seperti yang direpresentasikan oleh model iklan-iklan tersebut,
Sophia Latjuba dan Tamara Bleszynski. Aquarini meneliti setiap tanda (sign) yang disiratkan dalam iklan
tersebut. Salah satunya, kulit para model yang putih tersebut, mengisyaratkan
kepada orang yang melihatnya bahwa mereka akan terlihat cantik dan sempurna
seperti sang model iklan sabun dengan menggunakan produk tersebut. Tak lupa,
hasil penelitian Aquarini ini diperkuat dengan mengutip perkataan salah satu
Presiden Direktur perusahaan jamu besar di Indonesia yang menikmati peningkatan
penjualan yang sangat besar setelah menggunakan Sophia sebagai modelnya, “Orang
Indonesia sangat western-minded, jadi
wajah-wajah bule seperti Sophia masih menarik bagi konsumen kami” (Prabasmoro,
2003:92).
b.
DECODING CULTURAL OPPRESSION
oleh STUART HALL
Uraian
Permasalahan Sosial/Budaya Sehari – Hari Dalam Tulisan Terkait Masalah
Representasi, Identitas, Hegemoni, Wacana, Ideologi, Kelas, Dan Komoditas.
Dalam
artikel ini, Stuart Hall menmberi pandangan yang kritis terhadap budaya. Cultural studies difokuskan pada ideologi,
penindasan budaya. Ia mengatakan bahwa selain menggunakan semiotika untuk
mempelajari tanda (sign) dalam
kebudayaan, wacana juga merupakan suatu hal yang harus diperhatikan karena itu merupakan
cara lain untuk merepresentasi pengetahuan dan praktik suatu kelompok
masyarakat.
Definisi
representasi menurut Merriam-Webster adalah sesuatu yang menampilkan kembali (represent) kesukaan, gambar, model, atau
produk lainnya. Namun, Hall menilai representasi bukanlah tindak merefleksikan,
melainkan tindak membangun identitas yang selanjutnya dijadikan hegemoni dalam
masyarakat. Contoh kasus yang Ia berikan adalah bagaimana wanita dalam majalah Cosmopolitan tidak merepresentasikan
wanita sederhana pada umumnya. Model wanita yang bepenampilan glamor menggunakan
produk-produk dan barang komoditas lainnya, dimaksudkan agar mempengaruhi
pembaca untuk mengikuti gaya hidup seperti itu. Tentunya ketika banyak pembaca
yang terpengaruh oleh ‘representasi’ semacam ini untuk mendapatkan identitas
sebagai masyarakat kalangan atas, terciptalah hegemoni bahwa semakin konsumtif
gaya hidup mereka, semakin tinggi pula kedudukannya dalam strata sosial.
DAFTAR PUSTAKA
§ Abdullah, Irwan. (2006). Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
§ Barker, Chris. 2004. Cultural Studies Teori & Praktik, Penerjemah: Nurhadi.
Yogyakarta: Kreasi Wacana.
§ Creswell,
John W. 1998. Qualitative inquiry and research design: choosing among five
traditions. Thousand Oaks, Calif: Sage Publications
§ Hamdi, Asep Saepul. dan E. Bahruddin. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif Aplikasi dalam
Pendidikan. Yogyakarta: Deepublish
§ Hasan, Sandi Suwardi. 2011. Pengantar Cultural Studies. Yogyakarya: Ar-Ruzz Media
§ Prabasmoro, Aquarini Priyatna. 2003. Becoming White: Representasi Ras, Kelas,
Feminitas, dan Globalitas dalam Iklan Sabun. Yogyakarta: Jalasutra
§ Salam, Muslim. 2011. Dialog Paradigma Metodologi Penelitian Sosial. Makassar: Masagena
Press.
§ Sardar, Ziauddin. dan Loon, Borin Van. 2001. Mengenal Cultural Studies For Beginners. Bandung:
Mizan.
§ JURNAL ARTIKEL ONLINE
§ Hall, Stuart. Stuart
Hall and Cultural Studies:Decoding Cultural Oppression. Diambil dari: https://www.corwin.com/sites/default/files/upm-binaries/13286_Chapter_2_Web_Byte__Stuart_Hall.pdf. (27 Mei 2017)



Comments
Post a Comment