Final Test Metode Penelitian Kebudayaan



FINAL TEST
METODE PENELITIAN KEBUDAYAAN
“Metodologi Penelitian dan Cultural Studies”





DISUSUN OLEH:
Uzi Agustin Ardiyati
F21115310


JURUSAN SASTRA INGGRIS
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS HASANUDDIN

 

METODOLOGI PENELITIAN DAN CULTURAL STUDIES

A.    METODOLOGI PENELITIAN

1.      PENGERTIAN METODOLOGI DAN METODE PENELITIAN

Metodologi penelitian berasal dari kata “Metode” yang artinya cara yang tepat untuk melakukan sesuatu; dan “Logos” yang artinya ilmu atau pengetahuan. Jadi, metodologi artinya cara melakukan sesuatu dengan menggunakan pikiran secara saksama untuk mencapai suatu tujuan. Sedangkan “Penelitian” adalah suatu kegiatan untuk mencari, mencatat, merumuskan dan menganalisis sampai menyusun laporannya.
Lebih luas lagi dapat dikatakan bahwa metodologi penelitian adalah ilmu yang mempelajari cara-cara melakukan pengamatan dengan pemikiran yang tepat secara terpadu melalui tahapan-tahapan yang disusun secara ilmiah untuk mencari, menyusun serta menganalisis dan menyimpulkan data-data, sehingga dapat dipergunakan untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran sesuatu pengetahuan.
Menurut Suharsimi Arikunto (dalam Hamdi & Bahruddin, 2014:3), Metode penelitian adalah “cara berfikir, berbuat yang dipersiapkan dengan baik-baik untuk mencapai suatu tujuan penelitian”. Metode penelitian memandu si peneliti tentang urutan-urutan bagaimana penelitian dilakukan. Selain itu, Metode penelititan membicarakan bagaimana secara berurut suatu penelitian dilakukan (Hamdi & Bahruddin: 2014:3). Metode yang paling banyak digunakan dalam pengumpulan data kualitatif adalah observasi partisipan, in-depth interview, group interview dan pengumpulan data dari dokumen yang relevan (Salam, 2011:32).

2.      DEFINISI DAN KARAKTERISTIK PENELITIAN KUALITATIF

a.       Definisi Penelitian Kualitatif
Denzin dan Lincoln (dalam Salam, 2011:27) mendefinisikan penelitian kualitatif dengan mengatakan bahwa penelitian kualitatif adalah suatu penelitian yang menjadikan multimethods sebagai fokusnya; melibatkan pendekatan interpretatif dan naturalistik terhadap pokok persoalannya. Selain itu menurut Maanen & Miller (dalam Salam, 2011:27), penelitian kualitatif merupakan interpretasi atas realitas social yang dilakukan dengan menghubungkan berbagai gejala sosial yang dapat teramati secara visual di lapangan dalam bentuk struktur yang terpola, peristiwa-peristiwa dan atau dalam bentuk naskah-naskah tertulis.
Creswell (dalam Salam, 2011:27) juga memberi pendapat bahwa “penelitian kualitatif adalah proses penelusuran pemahaman berdasarkan tradisi metodologi penelitian yang jelas, yang mengeksplorasi suatu masalah sosial atau masalah manusia (human problem).

b.      Karakteristik Penelitian Kualitatif
Creswell (dalam Salam, 2011:28) menyajikan perspektif tentang karakteristik penelitian kualitatif dari tiga ahli (Bodgan & Biklen, Eisner, dan Merriam) tentang karakteristik penelitian kualitatif kedalam sebuah tabel. Dalam tabel tersebut ada tiga karakteristik yang disepakati oleh ketiga ahli tersebut, yaitu “natural setting” sebagai sumber data, analisis data secara induktif, dan makna difokuskan pada perspektif partisipan.
Selanjutnya, Maykut dan Morehouse (dalam Salam, 2011:29-33) menggambarkan dan mendeskripsikan beberapa ciri utama penelitian kualitatif, antara lain:
1.            An Exploratory and Descriptive Focus. Penelitian didesain untuk menemukan (mengeksplorasi) apa yang bisa dipelajari tentang fenomena sosial yang menjadi research interest peneliti yang bersangkutan.
2.            Emergent Design. Dalam konteks ini, emergent design adalah desain penelitian yang dikembangkan sambil melaksanakan penelitian. Peneliti kualitatif pada fase pengumpulan datanya dapat menelusuri fakta-fakta baru, yang dapat memperluas atau justru mempersempit cakupan penelitiannya sehingga desain penelitiannyapun dapat dimodifikasi. 
3.            A Purposive Sample. Partisipan yang akan dilibatkan dalam penelitian kualitatif harus dipilih secara hati-hati, yaitu orang yang memahami perkembangan sosial dengan baik, karena diharapkan dapat memperluas variabel sampel.
4.            Data Collection in the Natural Setting. Peneliti kualitatif menentukan tempat yang kemungkinan dapat memberikan informasi yang ingin ia ketahui dari fenomena yang ditelitinya. Misalnya dalam upaya memahami pengalaman mahasiswa dalam kehidupan akademiknya, peneliti mendatangi kelas, perpustakaan, organisasi mahasiswa, dan lain-lain untuk mengobservasi.
5.            Emphasison ‘Human-as-Instrument’. Peneliti memegang peranan penting dalam penelitian kualitatif karena Ia bertanggungjawab dalam mengumpulkan data yang relevan dan juga harus menginterpretasikan arti dari data tersebut, yang paling sering diperoleh dari perkataan dan aksi dari orang di lapangan secara langsung.
6.            Qualitative Methods of Data Collection. Data hasil penelitian kualitatif umumnya didapatkan dari perkataan dan tindakan informan, sehingga membutuhkan metode agar peneliti memahami bahasa dan perilaku mereka. Salah satu metodenya yaitu interview, dimana peneliti merekamnya dalam audio-tape, kemudian menuliskan transkripnya untuk dipergunakan dalam analisis data.
7.            Early and Ongoing Inductive Data Analysis. Analisis data pada penelitian kualitatif dimulai ketika peneliti sudah mengumpulkan sejumlah data yang akan memunculkan aspek penting terhadap fenomena yang sedang dikaji. Selanjutnya, aspek itu akan menuntun dalam penentuan informan dan setting serta pengumpulan data penjelas berikutnya.
8.            A Case Study Approach to Reporting Research Outcomes. Hasil penelitian kualitatif pada umumnya disajikan dalam rich narrative (narasi yang panjang/tebal), yang kadang-kadang disajikan dalam bentuk studi kasus.




3.      PERBANDINGAN PENELITIAN KUANTITATIF DAN KUALITATIF

Kirk & Miller (dalam Salam, 2011:26) berpendapat bahwa penelitian kualitatif adalah studi empirik, yakni studi yang menempatkan suatu fenomena secara sosial dan studi yang didefinisikan berdasarkan sejarahnya sendiri, bukan sama sekali a residual grab-bag (kumpulan bahan sisa) yang teridiri dari segala sesuatu yang tidak kuantitatif. Penelitian kualitatif melibatkan penggunaan kajian dan kumpulan aneka ragam pengallaman empirik (empirical materials) melalui: studi kasus, pengalaman pribadi, intropeksi, riwayat hidup, interview, observasi, sejarah, interaksi dan teks-teks visual, yang mendeskripsikan peristiwa rutin dan momen-momen yang bersifat problematik serta makna kehidupan individu (Creswell, 1998:14-15).
Selanjutynya, Mack (dalam Salam, 2011:58) menyatakan bahwa perbedaan utama antara metode penelitian kuantitatif dan kualitatif adalah:
-                Tujuan analisisnya
-                Jenis pertanyaan yang dipertanyakannya
-                Jenis instrument pengumpulan data yang digunakannya
-                Bentuk data yang dihasilkannya
-                Tingkat fleksibilitas yang dibuat dalam desain penelitiannya
Secara ringkas, Ia memberikan jawaban atas pertanyaan “Apa yang paling utama yang membedakan antara metode kuantitatif dan kualitatif?”, yaitu fleksibilitasnya. Metode kuantitatif relatif tidak fleksibel dibandingkan metode kualitatif, sebagai contoh, peneliti memberikan kuisioner dan survey dengan pertanyaan yang sama dan urutan yang sama pula kepada semua partisipan. Berbeda halya dengan

B.     CULTURAL STUDIES

1.      SUDUT PANDANG BARU DALAM MELIHAT KEBUDAYAAN

Selama ini, kebudayaan telah dianggap sebagai sebuah kebiasaan yang menjadi tatanan dan pedoman dalam tingkah laku manusia dalam bermasyarakat. Clifford Geertz (dalam Abdullah, 2006:1) mendefinisikan kebudayaan sebagai pola dari pengertian-pengertian atau makna-makna yang terjalin secara menyeluruh dalam symbol-simbol dan ditransmisikan secara historis.
Irwan Abdullah dalam Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan memaparkan nahwa istilah kebudayaan hamper selalu terikat pada batas-batas fisik yang jelas, seperti halnya kebudayaan Bali yang secara langsung mengarahkan pikiran kita ke Pulau Dewata. Namun, seiring derasnya arus globalisasi yang membuat dunia seakan tidak bersekat dan jarak antardaerah, antarnegara, bahkan antarbenua sehingga kebudayaan khas suatu daerah bisa ditemui diluar batas-batas geografinya sendiri.

2.      HUBUNGAN CULTURAL STUDIES DENGAN TEORI-TEORI SOSIAL

Beberapa metode dan pendekatan yang sering digunakan dalam cultural studies antara lain Marxisme, semiotika, analisis wacana (discourse analysis), posmodernisme, pos-kolonialisme, feminism, dan lain sebagainya (Hasan, 2011:32). Beragamnya metode penelitian berimbas pada perbedaan tiap komunitas cultural studies di tiap negara.
a.       Marxisme
Dalam kaitannya dengan marxisme, Marx dan Engels (dalam Hasan, 2011:33) menganggap bahwa basis ekonomi masyarakat terdiri dari hubungan produksi ketika budaya dan ideologi terbentuk untuk membantu mengamankan dominasi yang dilakukan oleh kelas sosial yang berkuasa. Dalam model basis ini, ekonomi dianggap sebagai fondasi masyarakat, sedangkan budaya, hukum dan politik berada dalam struktur atas yang merupakan ikutan, cerminan, dan hasil dari basis yang juga bisa mereproduksi basis ekonomi agar tetap bertahan.
Berbagai kritik terhadap Marxisme muncul karena dianggap teori ini mengembangkan makna yang buruk terhadap ideology (kesadaran palsu). Oleh karena itu timbullah upaya untuk menunjukkan bagaimana pandangan kultural dari Marxisme bisa dielaborasi secara elbih luas untuk memperkuat konsep ideology dan budayanya. Inilah yang melatarbelakangi munculnya pemikir-pemikir yang disebut sebagai Marxisme Kultural yang aktif melakukan analisis dan studi budaya dalam masyarakat kapitalis (Hasan, 2011:36).
b.      Postmodernisme
Postmodernisme berkembang sejak revolusi industri dan era pencerahan. Para pemikir posmodernis secara umum berusaha mengevaluasi proyek filsafat modern yang dianggapnya “menyimpang” dari tujuan humanisasi dan berusaha melontarkan pandangan-pandangan baru tentang manusia, masyarakat, dan kebudayaan. Mereka menggugat modernisasi yang pemikiran ilmiah terjebak pada positivisme, yaitu kepercayaan pada kebenaran objektif oleh manusia terhadap gejala alam dan sosial (Hasan, 2011:58).
c.       Semiotika
Sandi Suwardi Hasan (2011:61) berpendapat bahwa berbicara mengenai semiotika, sebuah konsep penting dalam cultural studies adalah konsep “tanda” (sign). Jadi, dalam hal ini, cultural studies telah menempatkan teori linguistik sebagai bagian yang sangat fundamental untuk memahami istilah kebudayaan.

      METODOLOGI DALAM CULTURAL STUDIES

Metodologis standar antara metode kuantitatif dan metode kualitatif memiliki perbedaan mendasar dilihat dari pengumpulan datanya. Metode kuantitatif yang terpusat pada angka dan perhitungan (misalnya statistic dan survei) dirasa kurang memberi keluwesan dalam penelitian cultural studies. Secara keseluruhan, cultural studies lebih memilih metode kualitatif dengan fokus pada makna kultural yang dibangun oleh para aktor yang dikumpulkan melalui wawancara, focus group (diskusi) dan analisis tekstual (Baker, 2004:29).
Lebih lanjut lagi, Chris Baker mengatakan bahwa karya-karya dalam cultural studies terpusat pada tiga macam pendekatan, antara lain:
a.       Etnografi
Etnografi adalah pendekatan empiris dan teoretis yang diwarisi dari antropologi yang berusaha membuat deskripsi terperinci dan analisis kebudayaan yang didasarkan pada kerja lapangan yang intensif. Menurut Morley (dalam Baker, 2004:30) strategi penelitian kualitatif seperti etnografi pada dasarnya didesain untuk mendapatkan akses ke dalam “berbagai domain yang dialamikan” dan aktivitas karakteristik mereka. Dengan kata lain, Cultural studies terpusat pada eksplorasi kualitatif atas nilai dan makna dalam konteks ‘cara hidup secara keseluruhan’, yaitu dengan masalah-masalah kebudayaan, dunia-kehidupan dan identitas.
b.         Pendekatan Tekstual
Baker mengemukakan ada tiga analisis yang cukup terkemuka dalam cultural studies, yaitu semiotika, teori narasi, dan dekonstruksionisme. Analisis semiotika mencoba menjelaskan makna suatu teks yang terbentuk dari tanda (sign) dan dengan menggunakan kode-kode kultural.  Selain itu, narasi mempunyai peran dalam cultural studies, dimana ia dapat menjelaskan rekaman peristiwa secara terstruktur dan berurut. Adapun dekonstruksi berarti menghapus teks dalam rangka menemukan dan menampilkan asumsi teks tersebut (Baker, 2004:32-33).
c.       Studi Resepsi (Reception Studies)
Gadamer (dalam Baker, 2004:35) memberi argumen bahwa pemahaman selalu berasal dari posisi dan sudut pandang orang yang paham, yang tidak hanya melibatkan reproduksi makna tekstual namun juga produksi makna oleh pembacanya. Teks bisa menampilkan makna, namun imajinasi dan pemikiran pembaca turut berpengaruh pada bagaimana penerimaan informasi mereka akan teks yang dibacanya.

SUBJEK KAJIAN DAN KARAKTERISTIK CULTURAL STUDIES

Cultural studies dapat dikatakan sebagai kajian yang  secara holistis menggabungkan teori feminis, sejarah, filsafat, teori sastra, teori media, kajian tentang video atau film, studi komunikasi, ekonomi politik, studi tentang museum, sejarah, dan  kritik seni, yang merupakan fenomena dalam kajian budaya dari  berbagai bentuk masyarakat. Jadi, cultural studies berupaya memahami bagaimana makna diarahkan, disebarkan, dan dihasilkan dari berbagai macam praktik-praktik budaya, kepercayaan, intitusi, struktur ekonomi, politik, dan sosial yang di dalamnya ada aspek yang dikaji dari budaya (Hasan, 2011:27-29).
Ziauddin Sardar (dalam Hasan, 2011:30-31) menguraikan karakter cultural studies, sebagai berikut.
1.      Cultural studies bertujuan menelaah persoalan dari sudut praktik kebudayaan dan hubungannya dengan kekuasaan. Tujuannya adalah untuk mengungkapkan hubungan kekuasaan dan mengkaji bagaimana hubungan tersebut mempengaruhi  dan mambentuk praktik-praktik kebudayaan.
2.      Cultural studies tidak hanya semata-mata studi mengenai budaya, seakan-akan budaya itu terpisah dari konteks sosial dan politiknya. Tujuannya adalah memahami budaya dalam segala bentuk kompleksnya dan menganalisis konteks sosial politik tempat dimana budaya itu mewujudkan dirinya.
3.      Budaya dalam cultural studies selalu menampilkan dua fungsi: sekaligus merupakan objek studi dan lokasi tindakan kritisisme politik. Cultural studies bertujuan menjadi keduanya, baik usaha pragmatis maupun intelektual.
4.      Cultural studies berupaya menyingkap dan mendamaikan pengotakan pengetahuan, mengatasi perpecahan antara bentuk (pengetahuan yang tak tampak pengetahuan intuitif berdasarkan budaya lokal) dan yang objektif (yang dinamakan universal). Bentuk-bentuk pengetahuan cultural studies mengasumsikan suatu identitas bersama dan kepentingan antara yang mengetahui dan yang diketahui, antara pengamat dan yang diamati.
5.      Cultural studies terlibat dengan evaluasi moral masyarakat modern dan dengan garis radikal aksi politik. Tradisi cultural studies bukanlah tradisi kesarjanaan yang bebas nilai, melainkan tradisi yang punya komitmen terhadap rekonstruksi sosial dengan terlibat kedalam kritik politik. Jadi, cultural studies bertujuan memahami dan mengubah struktur dominasi dimanapun, tetapi secara lebih khusus dalam masyarakat kapitalis industri.

5.      SEJARAH CULTURAL STUDIES DI INGGRIS
Centre for Contemporary Cultural studies (CCCS) yang dimotori oleh Richard Hogart adalah sebuah lembaga di Universitas Birmingham, Inggris, yang didekengi oleh para ilmuwan kritis yang menganggap bahwa kritik terhadap budaya kapitalis harus dilakukan dengan gerakan politis dan memiliki basis intelektual yang kuat. Sebagaimana dikatakan Hanno Hardt (dalam Hasan, 2011:69), “Cultural studies adalah sebuah kritik yang khas Inggris terhadap budaya kontemporer di dalam Marxisme Barat yang menampilkan kualitas dan intensitas komitmen intelektual untuk mengkritik dominasi ideology dan kekuasaan politik.
Pendiri Cultural studies di Inggris antara lain:
a.       Richard Hoggart, pendiri Centre for Contemporary Cultural studies (CCCS). Melalui karyanya yang paling berpengaruh berjudul The Uses of Literacy, Ia berusaha memahami terjadinya perubahan budaya di Inggris yang disebabkan oleh terjadinya “masifikasi”.
b.      Raymond Williams (31 Agustus 1921-26 Januari 1988). Ia adalah seorang akademisi, novelis, dan kritikus paling berpengaruh dalam gerakan intelektual Kiri Baru. Tulisannya memberikan kontribusi cukup besar dalam kritik budaya Marxis.
c.       E. P. Thompson
Thompson adalah tokoh cultural studies di Inggris yang juga identik dengan gerakan Kiri Baru. Ia melanjutkan tradisi Kiri dengan menyebutnya sebagai “humanis sosialis” Karyanya yang paling berpengaruh adalah The Making of English Working Class (1963) bertujuan untuk mengkritik teori kelas Marxisme.
d.      Stuart Hall
Tokoh cultural studies Inggris lainnya lagi adalah Stuart Hall, merupakan teoretikus budaya dan seorang sosiolog. Bersama Richard Hoggart dan Raymond Williams, ia dikenal sebagai pemikir cultural studies Inggris yang berbasis di Birmingham. Ia juga menjabat sebagai Presiden Asosiasi Sosiolog Inggris pada tahun 1995-1997.
Hasan  (2011:85) mengungkapkan bahwa cultural studies di Inggris merupakan cikal bakal studi budaya yang berkembang dan bermigrasi ke berbagai Negara. Gerakan Kiri Baru (New Left) sebagai respon Inggris terhadap invasi Rusia terhadap Hungaria pada tahun 1956 sangat berpengaruh.
Analisis Ziauddin Sardar (Sardar & Loon, 2001:43) menguraikan bahwa karakteristik cultural studies Inggris yaitu dibedakan oleh keragaman dan orisinalitas yang luar biasa dari topik-topik yang dikajinya dan mempunyai dimensi politik. Cultural studies ini bertujuan mendorong orang untuk memahami hubungan instrinsik antara budaya dan berbagai bentuk kekuasaan, lalu mengembangkan strategi bertahan hidup.

CONTOH CULTURAL STUDIES

a.       BECOMING WHITE oleh AQUARINI PRIYATNA
Tanggapan Terhadap Metode, Aplikasi, dan Pembahasan Selebritas Indo: Tubuh Yang Paradoks.

Becoming White karya Aquarini Priyatna Prabasmoro ini mengulas secara lugas dan mendalam mengenai fenomena iklan sabun yang menciptakan hegemoni dalam masyarakat bahwa standar kecantikan wanita yang sesungguhnya adalah mereka yang berkulit putih dan bertubuh indah, seperti yang direpresentasikan oleh model iklan-iklan tersebut, Sophia Latjuba dan Tamara Bleszynski. Aquarini meneliti setiap tanda (sign) yang disiratkan dalam iklan tersebut. Salah satunya, kulit para model yang putih tersebut, mengisyaratkan kepada orang yang melihatnya bahwa mereka akan terlihat cantik dan sempurna seperti sang model iklan sabun dengan menggunakan produk tersebut. Tak lupa, hasil penelitian Aquarini ini diperkuat dengan mengutip perkataan salah satu Presiden Direktur perusahaan jamu besar di Indonesia yang menikmati peningkatan penjualan yang sangat besar setelah menggunakan Sophia sebagai modelnya, “Orang Indonesia sangat western-minded, jadi wajah-wajah bule seperti Sophia masih menarik bagi konsumen kami” (Prabasmoro, 2003:92).

b.      DECODING CULTURAL OPPRESSION oleh  STUART HALL
Uraian Permasalahan Sosial/Budaya Sehari – Hari Dalam Tulisan Terkait Masalah Representasi, Identitas, Hegemoni, Wacana, Ideologi, Kelas, Dan Komoditas.
Dalam artikel ini, Stuart Hall menmberi pandangan yang kritis terhadap budaya. Cultural studies difokuskan pada ideologi, penindasan budaya. Ia mengatakan bahwa selain menggunakan semiotika untuk mempelajari tanda (sign) dalam kebudayaan, wacana juga merupakan suatu hal yang harus diperhatikan karena itu merupakan cara lain untuk merepresentasi pengetahuan dan praktik suatu kelompok masyarakat.

Definisi representasi menurut Merriam-Webster adalah sesuatu yang menampilkan kembali (represent) kesukaan, gambar, model, atau produk lainnya. Namun, Hall menilai representasi bukanlah tindak merefleksikan, melainkan tindak membangun identitas yang selanjutnya dijadikan hegemoni dalam masyarakat. Contoh kasus yang Ia berikan adalah bagaimana wanita dalam majalah Cosmopolitan tidak merepresentasikan wanita sederhana pada umumnya. Model wanita yang bepenampilan glamor menggunakan produk-produk dan barang komoditas lainnya, dimaksudkan agar mempengaruhi pembaca untuk mengikuti gaya hidup seperti itu. Tentunya ketika banyak pembaca yang terpengaruh oleh ‘representasi’ semacam ini untuk mendapatkan identitas sebagai masyarakat kalangan atas, terciptalah hegemoni bahwa semakin konsumtif gaya hidup mereka, semakin tinggi pula kedudukannya dalam strata sosial.


DAFTAR PUSTAKA

§  Abdullah, Irwan. (2006). Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.



§  Barker, Chris. 2004. Cultural Studies Teori & Praktik, Penerjemah: Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.



§  Creswell, John W. 1998. Qualitative inquiry and research design: choosing among five traditions. Thousand Oaks, Calif: Sage Publications



§  Hamdi, Asep Saepul. dan E. Bahruddin. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif Aplikasi dalam Pendidikan. Yogyakarta: Deepublish



§  Hasan, Sandi Suwardi. 2011. Pengantar Cultural Studies. Yogyakarya: Ar-Ruzz Media



§ Prabasmoro, Aquarini Priyatna. 2003. Becoming White: Representasi Ras, Kelas, Feminitas, dan Globalitas dalam Iklan Sabun. Yogyakarta: Jalasutra



§  Salam, Muslim. 2011. Dialog Paradigma Metodologi Penelitian Sosial. Makassar: Masagena Press.



§  Sardar, Ziauddin. dan Loon, Borin Van. 2001. Mengenal Cultural Studies For Beginners. Bandung: Mizan.



§ JURNAL ARTIKEL ONLINE



§  Hall, Stuart. Stuart Hall and Cultural Studies:Decoding Cultural Oppression. Diambil dari: https://www.corwin.com/sites/default/files/upm-binaries/13286_Chapter_2_Web_Byte__Stuart_Hall.pdf. (27 Mei 2017)
 

Comments

Popular Posts